Page

Jumat, 09 Maret 2012

Cerpen Pertamaku..

Ujian untuk kepercayaan
            Think about you make me feels right to stand above all this beauty…….
          Hoaaemmm… Jam di cellphone-ku menunjukkan pukul 3 pagi. Seperti biasa, aku akan bangun untuk mematikan alarm yang setiap pagi selalu dengan ceria bernyanyi untuk membangunkan aku yang sedang bermain-main di dunia yang sering disebut dengan ‘bunga tidur’ ini. Tapi, hari ini aku tidak melakukan ritual seperti biasa yang biasanya setiap hari aku lakukan. Pagi ini, setelah aku terbangun dari tidurku, aku langsung beranjak dari ranjangku dan langsung meraih cellphone-ku. That Should Be Me by Justin Bieber-lah tujuanku kenapa aku meraih cellphone-ku dengan segera. Yah begitulah, lagu tersebut telah membuatku teringat kepada ‘First Love’ ku dan puisi bernada itu juga sangat mendukung suasana hatiku saat ini.
Hari ini tanggal 10 Mei 2011, aku menerima permintaan special dari ‘First Love’ ku untuk melihat pertandingan basketnya di Kampus STIKI, tepat setengah lima sore ini. Karena hal yang sangat special itulah, aku merelakan waktu bermimpi-mimpiku berkurang untuk menyiapkan baju yang ‘mungkin’ akan aku kenakan nanti. Setelah tak terasa olehku lagu Justin Bieber telah aku putar selama 7 kali (ha ha ha dasar terlalu menjiwai lagu), aku membuka lemariku dan mengambil kaos merah hati untuk latihan dan juga untuk aku kenakan nanti saat datang ke pertandingan ‘First Love’ ku. Oh ya hampir aja kelupaan ‘tak kenal maka tak sayang’, kebetulan orang tuaku memberiku nama Astrid Fitria Febryanti Pramono dan setelah menerima mufakat dari kedua orang tuanya, ‘First Love’ ku itu di beri nama Fitriadi Eko Prayitno.  

Aku sudah membayangkan tentang apa yang ingin aku kerjakan nanti yang aku harap itu semua juga terjadi (amiiinn). Setelah puas menari-nari di alam bawah sadarku, aku memutuskan untuk mandi dan kalau aku boleh jujur sih, itu adalah mandi yang terlama dan terbersih yang pernah aku lakukan selama aku tinggal di asrama mandiri ini (ha ha ha terlalu jujur). Setelah 30 menit berlalu meninggalkan aku, aku keluar dari kamar pembersih dan langsung menuju kamarku untuk bersiap-siap menuntut ilmu. Setelah beberapa menit berlalu, aku melihat jam mejaku yang menunjukkan tepat pukul 05.15, sedang melambai-lambai kepadaku dan mengingatkanku untuk tidak lupa bertemu dengan Allah. Setelah sejauh ini semua yang telah aku bayangkan terwujud dengan baik, tak lama kemudian ibu asrama mandiriku memanggil untuk sarapan.
Semua kegiatan rumah telah aku selesaikan, sekarang saatnya aku untuk menuntut ilmu. Aku siswi SMA Negeri 5 Malang, dan aku adalah ibu wakil dari kelas X-8.
“Assalamualaikum teman-teman” sapaku dengan senyum manja lalu masuk ke dalam kelasku tercinta.
“Waalaikumsalam Trid. Wah ada apa ini, kok kamu senyam-senyum gitu?” jawab Widya yang biasa dipanggil dengan sebutan ‘Wepe’ itu dengan wajah penasaran.
“Hehehehe… apa sih Pe, nggak kok aku cuma gak sabar pengen cepet-cepet jam setengah lima nih.!!!” jawabku manja.
“Emangnya ada apa Trid jam segitu?” tanya Wepe ingin tahu.
“Kalo menurutku sih, ini gak penting buat kamu tapi gak papa deh aku kasih tau aja. Ntar ada pertandingannya ‘FL’ ku di STIKI, kamu mau ikut tah?” godaku.
“Hah! Ngapain ikut? Kenal aja enggak, lagian kan kalo aku ikut ntar malah ganggu kamu lagi?! Hahaha…” jawabnya sambil tertawa.
“Hahaha… Apaan sih kamu Pe?! Btw, is there any homework today?” jawabku mengalihkan pembicaraan.
“ Waduh mulai deh hantu bulenya ngerasukin Astrid??! Hahaha… Ada Trid PKn yang fotocopy-an soal-soal dari Pak Djuari, kamu udah ngerjain ta???” sahut Bagas tiba-tiba. Pak Djuari adalah guru PKn di kelasku.
“Hahaha… Sorry, I’ve made this as habit. Hahaha… Jangankan udah, fotocopy-anku dimana aja loh aku gak tau!!?” jawabku enteng.
“Ehm, dasar Astrid!!! Hahahaha…” timpa Bagas sambil tertawa.
“Gak papa deh, ntar aj aku fotocopy lagi trus tak coba ngerjain juga. Eh Qi, ntar kamu jadi ikut aku nonton ta?” jawabku dan langsung bertanya kepada Fauqi yang menjadi partner bangku Bagas di kelas.
“Insyaallah ya Trid, masalahnya aku juga mau belajar buat ulangan Fisika plus Sejarah besok dan juga ngerjain cerpennya Bu Lilik, takutnya kalo jum’at depan ini cerpenku belum selesai” jawab Fauqi. Aku juga nggak heran kok kalo Fauqi sibuk ngerjain cerpennya, sebenernya aku juga lagi dalam proses pengerjaan juga. Dan ada info penting yang harus diketahui sekarang adalah, Bu Lilik adalah guru Bahasa Indonesia di kelasku.
“Oh iya Qi, gak papa kok.” jawabku sambil tersenyum.
 Tak lama kemudian, partner bangku ku datang dengan disertai dengan bel yang berbunyi tanda masuk kelas. Setelah partnerku itu duduk, aku menceritakan bahwa aku akan datang dan menonton ‘FL’ ku itu tanding basket. Aku juga tak lupa mengajaknya, tapi dia tidak bisa ikut karena dia ingin belajar untuk ulangan Fisika besok. Akhirnya aku memutuskan untuk mengajak Lidya dan untungnya dia mau dan bersedia ikut denganku menonton pertandingan nanti. Lidya adalah teman curhatku yang selama ini selalu mendengarkan ceritaku dan begitu pula sebaliknya.
Setelah delapan jam berlalu dengan dengan perlahan, akhirnya bel tanda pulang pun berbunyi tepat pukul 15.00 sore.
“Persiapan… Berdoa mulai… Selesai…” pimpin Ekik sang bapak ketua kelas X-8.
“Wassalamualaikum wr.wb.” kata pak Guruh guru PAI kelasku memberikan salam.
“Waalaikumsalam wr.wb” jawab kami serempak.
“Trid, aku Padsu dulu ya. Ntar habis kamu nari sms aku ya, kamu nunggu aku dimana ntar aku tak nyusul. Oke!!!” kata Lidya.
“Oke Lid!!! See yaa..”
“Trid, sini deh!!! Apa ya kira-kira yang kurang dari trailer-nya ini? Nesia juga gak masuk lagi??!!! Huft…” celetuk Dodi.
“Sabar Dot, coba kita edit sebisa kita dulu, ntar kalo emang kita butuh saran dari Kukuh, biar ntar dia tak sms.” jawabku sambil tersenyum.
“Percuma Trid, kemarin lho Kukuh tak sms tak suruh ke kelas tapi mana? Dia lho gak dateng?!!!” jawab Dodi agak kesal.
“Udah biar aku yang sms, pasti dia mau dateng trus bantuin kita, tapi gimana kalo hari sabtu aja??! Kan lebih lama??!” saranku.
“Cieeelah, ternyata Kukuh nurut banget sama kamu?! Hahaha… Kesempatan dalam kesempitan ini ya Trid?! Hahaha…” jawab Dodi menyindir.
“Lha?! Opo ae toh yoo Dot?! Hahaha… Nggak kok aku sama Kukuh itu saling tolong menolong, jadi kalo Kukuh minta tolong semampu aku pasti bantu, begitu juga aku. Gitu Dot!? Hehehe…” jawabku nyengir.
“Trid kamu nggak nari ta? MGMP udah rame loh!!!” tanya Lidia.
“Iya mbak, ini juga siap-siap mau nari. Bye guys, have a nice day.” Aku berpamitan lalu menuju ke MGMP tempat aku berlatih menari. Aku meraih cellphone-ku yang berada didalam saku jaketku. Aku buka dan aku lihat ada sms dari Eko dan Lidya. Mungkin aku jahat karena memilih untuk membuka sms dari Eko terlebih dahulu. Lalu, aku baca sms darinya,
‘gimana, jadi lihat ta?’ katanya.
‘iya jadi, tunggu aku ntar ya!!?’ balasku.
‘oke Trid. J.’
Ketika aku hendak sampai di MGMP, aku membuka sms dari Lidya, dan ketika aku membaca sms tersebut aku telah melihat Lidya di depanku sedang menyanyi. Aku menunjukkan cellphone-ku seraya tersenyum kepadanya. Dia membalas senyumku sambil menunjuk ke arah guru dan teman-teman tariku. Setelah satu jam berlalu, aku meminta ijin kepada guru tari ku untuk pulang lebih awal. Tetapi, guruku tidak mengijinkan aku dengan mudah, akhirnya setelah aku menjelaskan kenapa dan memberikan solusi tentang masalah yang telah dipermasalahkan oleh guruku tersebut, akhirnya aku diperbolehkan pulang. Ketika itu, aku melihat jam dinding MGMP telah menunjukkan jam 16.30 tepat. Mengetahui hal itu, aku langsung melompat dan memakai sepatuku cepat-cepat bak kanguru yang terbakar ekornya, dan parahnya lagi aku sudah tidak punya waktu lagi untuk mengganti baju.
Setelah semua selesai, aku langsung berlari ke tempat parkir sekolahku, aku langsung menuju sepeda motor BEAT berwarna pink yang selama ini telah menemaniku kemanapun aku pergi.
“Ayo cepat naik Lid! Sepertinya aku harus menjadi rider sekarang! Tapi sebelum ini, kita beli minum dulu ya Lid” pintaku.
“Iya Trid. Santai aja, yang penting kamu udah berusaha buat dateng, telat dikit kan gak papa!?” jawab Lidya menenangkan aku.
Setelah membeli air minum di sebelah RSI yang terletak di sebelah kanan sekolah, aku langsung tancap gas dan segera menuju STIKI tanpa menghiraukan orang-orang yang mungkin heran melihat aku melaju dengan kencang. Setelah 15 menit perjalananku bersama Lidya, akhirnya aku sampai di STIKI dengan selamat. Aku langsung naik dan membeli tiket untuk masuk ke lapangan. Setelah mendapatkan tempat duduk yang cukup nyaman aku dan Lidya akhirnya dapat melihat pertandingan tersebut dengan baik. Sekitar 2 menit sebelum pertandingan dimulai, teman seperjuanganku di SMP datang dan duduk di sebelah Lidya.
“Hai Van, masih inget aku gak???” tanyaku seraya tersenyum.
“Astaghfirullah, Astrid. Ya ingetlah, kamu pake kerudung sekarang??? Sekolah di mana??? Ngapain di sini???” tanya Vania sambil memelototi aku hampir tidak percaya.
“Alhamdulillah, iya Van. Aku sekarang di SMA 5, Van. Kamu pasti tahu kan alasanku kenapa dateng ke sini?!” jawabku seraya menggoda.
“Oalah. Aku tahu kok, pasti Eko kan??! Hahaha…” sindirnya.
“Hahaha… Iya Van.” jawabku sambil tersipu malu.
Teeet… Teeet… Bel berbunyi tanda pertandingan yang kita tunggu-tunggu akan segera dimulai. Aku sadar dari awal aku masuk ke dalam lapangan tersebut, mataku tidak mau mengalihkan pandangannya dari seseorang. Yah, kemanapun dia melangkah mataku selalu mengikuti langkahnya, ketika dia menggiring bola, terjatuh, bahkan istirahatpun hanya dialah yang menarik perhatianku saat itu.
Teeet… Teeet… Bel berbunyi menandakan bahwa setengah pertandingan telah usai. Saatnya penampilan dance dari masing-masing sekolah. Meskipun pada saat itu dia sedang melihat penampilan para dancer, aku tidak bisa melepaskan pandanganku darinya. Aku tidak tahu pasti, apakah dia mengetahui bahwa aku ada dan sedang menatapnya, aku tidak akan mengganggunya saat itu, karena aku tahu bahwa mungkin dia merasa down karena tim-nya kalah 40-6 saat itu. Tapi yang aku sadari saat itu adalah hatiku tidak henti-hentinya  mengatakan “Eko, aku yakin kamu pasti bisa! Doaku selalu menyertaimu…” hanya kata-kata itulah yang selalu terngiang dan mungkin kalau memang aku punya kesempatan untuk mengatakan itu kepadanya, aku ingin tahu bahwa aku selalu berdoa untuknya. Tetapi, semua itu hanya keinginan yang tidak dapat terwujud.
Teeet… Teeet… Teeet… bel berbunyi tanda pertandingan telah usai. Skor yang terpampang sangat jelas itu menunjukkan bahwa dia gagal. Aku hanya tertunduk melihatnya. Sesudah dia masuk kedalam ruang tunggu tim, aku menyusulnya tanpa peduli omongan orang-orang yang melihatku bersama Lidya. Sesampainya di depan pintu, aku menghampiri Bu Yayuk guru Olahraga ku ketika aku masih SMP kelas 1.
“Assalamualaikum Bu Yayuk, masih ingat tidak ibu dengan saya???” tanyaku yang saat itu dibalas dengan wajah kebingungan yang terpampang jelas diwajah beliau.
“Saya Astrid Bu.” timpaku kembali.
“Ya ampun Trid. Kamu sekarang pake kerudung sih, jadinya ibu agak pangling. Sekolah dimana kamu Trid?” jawab beliau seraya bertanya.
“Di SMA 5 Malang bu. Iya, sudah lama juga saya tidak mengunjungi SMP, mungkin guru-guru yang lain juga akan pangling kalau melihat saya berkerudung bu.” jawabku seraya tersenyum.
“Kamu kesini sendiri ta?” beliau bertanya.
“Tidak bu, saya datang kesini bersama teman saya.” jawabku sambil menunjuk Lidya.
“Ehm bu, boleh saya bertemu dengan mbak Shelly???” pintaku dengan sopan.
“Oh iya Trid, sebentar ya. Shelly, ada yang mencari kamu!” panggil Bu Yayuk seraya membuka pintu.
Dag dig dug rasanya ketika aku melihatnya ada di balik pintu. Oh Tuhan, aku ingin berteriak memanggil namanya dan menggenggam tangannya seraya berkata ‘ aku percaya ini adalah akhir dari kegagalan dan aku yakin ini adalah awal dari keberhasilan’. Tapi apa daya, dia tidak melirikku apalagi melihatku. Akhirnya setelah aku selesai berbincang-bincang dengan mbak Shelly, aku memutuskan untuk mendukungnya melalui sms sebelum aku memutuskan untuk pulang. Setelah sms itu terkirim, aku langsung berpamitan dengan Vania dan tanpa terasa aku meninggalkan ruangan itu dengan air mata yang membasahi pipiku. Aku berlari keluar ingin rasanya aku berteriak ‘kenapa kau tak mau menghampiri aku? Apa kau tidak menyadari bahwa aku telah datang dan mendukungmu?!’.
Tuhan jikalau pada waktu itu mata dapat berbicara, aku akan menyampaikan semua pesan yang aku pendam di dalam lubuk hatiku melalui tatapan mataku. Tapi Engkau berkehendak lain Tuhan, Engkau telah membiarkan aku marah dan kecewa terhadapnya. Jujur, aku tidak ingin menangis pada waktu itu, karena aku tahu semakin aku membiarkan air mataku menetes, maka setiap tetes itu pula aku akan menyiksanya. Aku tahu saat itu aku kecewa, aku tidak menginginkan apapun darinya saat itu, aku hanya ingin sapaannya, aku tidak peduli dia menghampiriku atau tidak, aku hanya ingin dia tahu bahwa ‘sahabatmu ini telah datang untuk mendukungmu’, tapi aku salah, melihatku pun dia tidak lakukan apa lagi sampai menyapa.
Tuhan betapa bodohnya aku saat itu, sampai-sampai aku memohon kepadaMu untuk memberikan bencana bagiku.
“Trid, udah dong nangisnya. Aku tahu gimana rasanya tapi please, jangan ngomong kayak gitu lagi. Alam yang akan menjawab.” kata Lidya yang mencoba menenangkan aku.
“Tapi coba kamu bayangin Lid, aku udah bela-belain kebut kayak gitu, tapi apa balasan dia ke aku, lihat aja enggak apalagi senyum.” gerutuku seraya menetes air mataku.
“Tapi please Trid jangan nantangin alam. Aku takut kalau kita ntar kenapa-kenapa.” jawab Lidya ketakutan.
Setelah sepuluh menit perjalanan hingga akhirnya sampai di sebuah perempatan, tiba-tiba kakiku yang hendak aku pergunakan sebagai penyangga tersangkut tali dari tasku hingga akhirnya… BRAAKKK!!!
“Lid kamu gak papa ta?” tanyaku khawatir.
“Gak papa, tapi kayaknya kakiku kram deh?!” jawabnya.
Setelah itu aku meraih motorku dan langsung aku kendarai lagi. Setelah itu aku yang sangat khawatir terhadap Lidya bertanya…
“Kakimu udah baikan gak Lid?”
“Masih sakit Trid udahlah biarin!? Tuh kan apa yang aku bilang, jangan berani nantangin alam, gini ni akibatnya!!!?”
“Maaf Lid, aku frustasi banget sekarang, jadi omonganku juga seenaknya sendiri. Maaf ya Lid”
“Ya udah gak papa, lain kali jangan kamu ulangin lagi ya, dimanapun, kapanpun, dan sama siapapun! Oke!!??”
“Insyaallah Lid”
Sesampainya di asrama mandiri, aku langsung masuk kamar lalu membuka cellphone-ku yang hanya berisi sms dari Eko. Aku langsung membuka sms yang terakhir aku terima, dia bilang kalau…
‘Minggu aku tanding lagi, kamu lihat ya Trid aku mau ngomong, please!!!’
Aku tidak menjawab sms-nya itu, aku ragu apakah aku akan tegar jikalau hari minggu itu aku datang ataukah aku akan menjadi pecundang yang tak akan kuasa menahan air mata yang akan membanjiri pipiku jikalau aku datang. Akhirnya lima hari itupun berlalu dengan sangat berat dan penuh dengan cobaan batin untukku, entah dari tugas, tari, sekolah, ataupun Paskibra. Aku hanya merasa bahwa jikalau Tuhan memperingatkan aku bahwa manusia itu perlu belajar, ini semua adalah pelajaran tersulit yang pernah aku alami sepanjang hidupku saat ini.
Hari ini tepat tanggal 15 Mei 2011, hari dimana ayahku merayakan ultahnya yang ke 39. Aku bangun dengan agak malas lalu membantu mbak Mike membereskan kamar. Yak, kemarin aku menginap di rumah teman yang sebenarnya sudah aku anggap sebagai saudara, yaitu Nesia. Setelah membantu semua pekerjaan yang ada aku dan semua saudara Nesia berkumpul di ruang tengah untuk makan sambil menonton film. Aku melihat jam dinding yang berada di ruang tengah tersebut seraya berpikir, apa aku akan memutuskan untuk datang atau tidak kepertandingannya? Akhirnya aku memutuskan untuk tidak datang.
Tepat jam 2 sore, aku bersama keluarga besar Nesia mengantarkan aku pulang ke rumahku yang ada di Pandaan. Yah, aku adalah anak tunggal yang memilih untuk menuntut ilmu jauh dari orang tua karena tuntutan kemandirian dan pendidikan yang layak. Akhirnya aku pulang dengan membawa kue tart yang akan aku serahkan untuk kejutan ayahku. Sesampainya di rumah sebelum datangnnya ayahku, cellphone-ku berdering, akhirnya aku angkat dan aku buka sms itu ternyata itu sms darinya…
‘hai’ katanya.
‘hai’ balasku.
‘maaf ya tentang kemarin Trid’
‘iya gak papa kok Ko, gimana pertandingan kamu tadi?’        
          ‘Alhamdulillah menang 26-21 Trid’
          ‘Ko, aku mau tanya. Hari selasa itu sebenernya kamu tahu gak sih kalo aku dateng apa enggak? Trus kalau kamu tahu kenapa kamu gak nyamperin aku?’
          ‘aku tahu Trid, kamu pake seragam sama jaket warna hijau muda, maaf banget Trid aku gak nyamperin kamu, soalnya waktu itu aku lagi down banget’
          Saat itu juga aku berlari mencari tempat yang hening lalu aku memberanikan diri untuk menelponnya. Saat itu juga aku tahu aku salah, aku belum mengetahui hal yang sebenarnya terjadi, tapi aku sudah berani mengambil keputusan sampai-sampai menghakimi Eko seperti itu. Aku mungkin sadar bahwa aku masih kurang mengerti tentang kesulitan yang dia alami, tapi aku akan terima semua kemarahan Eko kepadaku, aku tidak akan pernah marah meskipun dia menginginkan aku pergi dari kehidupannya. Aku akan terima semua itu karena aku mengerti bahwa, saat itu persahabatan kita sedang diuji…         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar